Jumat, 29 November 2013

Cerpen: Jangan paksakan cinta

Semua orang tahu, jika cinta itu dari mata turun ke hati. Ada juga yang bilang, cinta itu tumbuh karena terbiasa. Selain itu, cinta bisa datang saat pertama kali kita bertemu dengan orang baru. Terserah kalian mau pilih yang mana. Yang jelas cinta itu tak bisa dipaksa.

Aku Rani, Mahasiswi fakultas ekonomi tingkat akhir di sebuah universitas swasta di kota yang besar ini. Aku anak rantau. Tak punya siapa-siapa di sini, selain sahabatku, Dian yang juga berkuliah di universitas sama denganku. Hanya teman kuliah dan teman kos yang menemaniku sendiri di sini. Sehari - hari aku pulang pergi ke kampus naik bus kota. Tarif bus yang menjulang tinggi membuatku sulit untuk mencukupi kehidupan seorang anak rantau. Dan akhirnya aku berinisiatif untuk kuliah sambil bekerja. Yahh, sekedar mengajar les privat untuk anak-anak di sekeliling kampus atau di sekitar kosan ku. Cukuplah untuk menambal uang jajanku yang sedikit seret akibat semuanya mahal. Orang tua ku memang memberiku uang pas untuk kebutuhanku selama sebulan. Alasannya sih klise, biar aku hemat, biar aku tahu susahnya cari uang. Orang tua ku hanya seorang pekerja bank swasta di kotaku. Mereka harus menghidupiku dan kedua adikku yang sekarang duduk di bangku SMA dan SMP.

Aku memutuskan untuk merantau agar aku tahu kehidupan luar. Agar aku tahu bagaimana rasanya hidup sendiri tanpa ada orang tua yang selalu ada bersamaku setiap pagi. Ohhh.. ternyata rasaaanyaaa.... susah dan sedih ditanggung sendiri. Selain itu, ada alasan terselubung yang mendorongku untuk pergi dari kota kecilku itu. Yaapp, ARGA. Siapa Arga? Dia seseorang yang "kuagung-agungkan" selama beberapa tahun ini. Sejak aku berada di bangku kelas sepuluh. Hanya seorang "Fans Berat" yang menginginkan sang idola datang ke kehidupannya. Seperti seorang cinderella yang mengharapkan sang pangeran datang menjemputnya. Ahhh, sudahlah.... Cinderella hanya ada di sebuah fairy tale yang tak pernah ada di kehidupan ini.

Sudah hampir empat tahun aku di tinggal di sini. Kuliahku juga hampir selesai. Tinggal sidang skripsi, wisuda, dan aku resmi menjadi seorang sarjana ekonomi. Kehidupan perkuliahanku memang lancar, tapi berbanding terbaling dengan kehidupan percintaanku. Tak ada seorangpun di kampus ku yang begitu menarik perhatianku. Entahlah... Rasanya semua tertutup oleh awan mendung yang tak kunjung sirna. Matahari belum mau menyinari orang-orang itu. Kelabu. Ada sih, satu dua orang yang ingin menarik perhatianku. Tapi, entah kenapa aku belum sanggup untuk berdiri sejajar di samping mereka. Mungkin aku terlalu dibayangi oleh Arga. Yang sekarang aku tak tau keberadaannya dimana.

Pernah aku bertemu dengan seseorang, dia cukup menarik perhatianku. Namanya Bagas, mahasiswa fakultas pertanian. Pertama kali bertemu, ada sedikit rasa aneh yang muncul di hatiku. Grogi. Mungkin ini awal rasa sayang ku untuknya. Beberapa kali kita bertemu, perasaan itu masih sama. Aku senang bertemu dengannya. Aku merasa ingin selalu bersamanya. Aku merasakan kangen saat kita tak bertemu.
"Aku kangen sama Bagas". Kataku kepada Dian, teman sekamarku yang juga teman.
"Kangenan mana sama Arga?"
"Hah?"
"Iya, sama Arga. Kamu ga bakal lupa kan sama si Arga?"
"Sebenarnya aku udah lupa, tapi kamu malah sebut namanya lagi."
"Hahahaaa, bohong ya?! Kamu kira aku nggak tahu isi hatimu. Kamu kan masih sering ngegalauin sang artis mu."
"Emang keliatan yah?"
"Banget! Matamu yang selalu berbinar ketika menceritakan Arga itu tak muncul ketika kamu bercerita tentang Bagas. Udah deh, kalo bener-bener ga cinta, ya jangan dipaksain."
"Tapi kan, aku juga pengen jatuh cinta sama orang lain. Kayak kamu yang gampang banget lupain Sofyan."
"Ah, udah deh ga usah bawa-bawa dia. Itu kan beda cerita. Aku kan cintanya kesampaian, terus putusnya juga karena dia selingkuh. Jadi ya gampang aja buat nendang dia dari hati aku."
"Sialan. Jadi, karena cinta ku ga kesampaian aku harus kayak gini. Ga bisa move on dari kasur. Eh, dari Arga."
"Bisa jadi begitu sih. Coba deh, kamu rasain yang bener-bener. Apa waktu ketemu Bagas, perasaanmu sebesar waktu ketemu Arga?"
"Enggak"
"Nah, itu tahu."
"Iya juga sih, semakin aku dan Bagas sering ketemu. Rasanya malah semakin biasa aja. Ga ada rasa aneh lagi. Hambar. Kaya sayur yang ga pake sayur."
"Maksud mu ???"
"Hahaaa,, ya maksudku gitu deeehhhh."
"Makanya kalo cinta ya cinta aja, jangan keburu dateline. Jangan maksain hatimu jika kamu memang ga manteb sama dia."
"Tapi, aku suka sama Bagas."
"Suka bukan berarti cinta kan?"

Aku semakin bingung. Aku ingin memulai kisah percintaanku dengan orang lain. Tapi, kenapa bayang Arga selalu mengikutiku. Setiap kali aku ingin melupakannya, ada saja hal yang mengingatkanku dengannya. Sampai-sampai aku berfikir, apa aku memang tak boleh melupakannya. Apa memang Tuhan belum mengijinkanku untuk melupakannya. Untuk menggantikan dia. Entahlaaahhhh....

                                             ......................................................................

Akhinya aku lulus. Rina Kuwumawati, SE. Dengan menyandang predikat SE, aku siap mnempuh hidup baru di dunia yang sebenarnya. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, mencari pekerjaan di kota ini. Dian, sama denganku. Dia juga memutuskan untuk tetap hidup bersamaku. Eh.... maksudnya, tetap tinggal di kota ini. Mencari pekerjaan di kota ini juga.

Aku mengirim semua surat lamaranku ke perusahaan - perusahaan yang membutuhkan seorang akuntan. Tak begitu susah bagitu, untuk dapat masuk di sebuah perusahaan terkenal di bidang advertising. Dengan modal IPK yang lumayan di atas standar, aku bisa masuk ke perusahaan itu.
Dian, juga tak mau kalah denganku. Dia diterima bekerja sebagai wartawan di sebuah perusahaan majalah yang tekenal. Meskipun kita berbeda kantor, kita masih berada di tempat kos yang sama. Cuma bedanya, kita harus terpisah kamar. Ibu kos bilang, yang sudah bekerja dilarang sekamar. Ya sudahlaah, mau gimana lagi.

Hari pertamaku bekerja, tak seburuk yang aku bayangkan. Merancang dan mengontrol arus keuangan di perusahaanku. Aku bertemu dengan orang-orang hebat dalam tim kerjaku. Mereka jauh lebih berpengalaman dalam urusan keuangan perusahaan. Beruntungnya aku, mendapat teman-teman yang mau membimbingkan seorang newbie ini.

Beberapa hari bekerja di kantor ini, aku merasakan ada seseorang yang tak asing bagiku. Rasanya aku sering sekali bertemu dengan orang itu. Tapi, kapan, dimana. Aku lupa. Dia pernah tersenyum kepadaku, ketika kita sedang berada di lift. Tapi, aku tak mengenal dia. Kita sama-sama berhenti di lantai tiga. Kita satu kantor. Tapi, kita beda divisi. Dia masuk ke ruang divisi kreatif. Suatu hari, aku dan dia berada di lift yang sama lagi. Aku melihat ke arah name tag nya. Sial, name tag itu terbalik. Aku gagal mengetahui siapa dia. Seharian aku mencoba mengingatnya. Aku penasaran. Senyum itu tak asing bagiku. Aku tak bisa tidur. Aku mengingat dia terus.

Keesokan harinya, aku bergegas ke kantor. Berhubung aku bangun kesiangan, karena semalaman aku tidak bisa tidur. Ku putuskan hari ini untuk naik ojek. Hah, mahaallllll... Tak apalah, daripada harus bayar denda karena telat. Sesampainya di kamtor, aku sesegera menyodorkan jempol ku ke finger print di depan pintu masuk kantor. Jam tanganku menunjukkan tepat pada pukul 08.00. Hampir saja gajiku kepotong untuk bayar denda.
"Hampir telat yah?" katanya.
Aku memalingkan arahku ke seseorang yang mengeluarkan suara itu. Senyum itu.
"Ehhh,, i....iyaaa.... Kamu juga yah?" Sambil mengamati daerah dadanya, yang mungkin tertempel name tag dengan benar. Siaaalllnyaaa, name tag itu belum terpasang disana.
"Iya nih... hampir aja telat gegara ban kempes tadi. Untung saja bawa ban cadangan."
"Ohh,, syukur deh. Yuk, ke atas."

Mereka naik ke atas dengan menggunakan lift, seperti biasa. Di dalam lift, tak ada satu ucapanpun keluar dari mereka berdua. Sama-sama diam. Sampai di lantai tiga, mereka berpisah. Dia ke ruangannya, dan aku ke ruanganku.
"Sampai ketemu nanti." katanya.

Pekerjaanku teranggurkan olehku. Hari ini konsentrasiku buyar. Aku tak bisa fokus dengan pekerjaanku. Padahal laporan akhir bulan harus terkumpul besok. Entahlahh. Aku hanya memikirkan dia terus. Yang sampai sekarang, aku belum mengetahui siapa dia.

Jam makan siang aku pergi ke kantin. Sendirian. Sesampainya di depan lift, ada seseorang di sebelahku. Aku melihat ke arah name tag yang terpasang di saku kiri kemajanya. Argata Kusuma. Aku tak berani menolehkan pandanganku ke mukanya.
"Hai." sapanya. "Mau makan siang? Barengan yuk.?!"
Aku masih saja menatap ke arah depan, menunggu pintu lift terbuka. Hatiku berdebar tak karuan. Aku tak sanggup menjawab sapa dan tanya itu. Pintu lift tak kunjung terbuka. Rasanya lama sekali.
"Hallo, do you hear me?" katanya lagi.
"Ehhh,, kamu. Iyaa.. kenapa?" aku pura-pura tak mendengar perkataannya.
"Mau ke kantin?"
"I...iyaaa..."
"Barengan yuk."

Sesampainya di kantin, aku hanya memesan sebotol air mineral. Tadinya aku begitu merasakan kelaparan. Tapi, gegara makan bareng Arga, rasa laparku hilang. Saat ini aku duduk di depan artisku. Menatap artisku yang sedang menyantap dengan lahap makan siangnya. Aku tak pernah bisa menyangka, aku bakal makan bareng sama dia. Aku tak tahu, jika kantor dia di sini. Aku tak pernah berharap bisa bertemu dia di tempat ini. Karena selama ini, aku tak pernah tau dimana dia berada. Inikah alasan Tuhan untuk menyuruhku tak melupakan Arga. Karena saat ini, perasaan itu masih sama seperti dulu. Seperti pertama kali aku bertemu dengannya.
"Kenapa waktu pertama kali aku menyapamu, kamu ga balas sapaku?"
"Hahh,,"
"Iya, dulu waktu kita bertemu di lift. Aku tersenyum sama kamu. Tapi, kamu malah diam saja. Kayak ga kenal gitu sama aku. Kamu lupa ya sama aku?"
"Dikit sih."
"Yaahh, berarti aku udah ga special lagi dong buat kamu. Aku kehilangan satu fans beratku dong."
"Hahaa, apa sih. Ya maklum lah, kita kan ga pernah ketemu lagi setelah kita lulus SMA."
"Berarti setelah lulus, semuanya juga lulus? Termasuk perasaanmu sama aku?"

Perasaanku ga pernah lulus dari kamu Ga. Soalmu terlalu mengunci aku. Sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Jam makan siang dah hampir habis nih. Let's back to our room." Kataku.

Tak terjadi percakapan apapun di dalam lift. Senyi, senyap, sepi. Pintu lift akhirnya terbuka. Kita berpisah menuju ruang masing-masing.
"Nanti pulang bareng ya. Aku tunggu di depan pintu bawah. See you."
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menuju ruangnya.
                                   ....................................................................................
Jarum jam di tanganku menujukkan angka empat. Aku bergegas membereskan tumpukan pekerjaan di mejaku. Sambil membawa beberapa dokumen, aku bergegas ke arah lift. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengan Arga. Hatiku mulai berlarian. Detak jantungku terasa lebih cepat dari biasanya.
Sesampainya di lantai bawah, aku melihat dia berdiri di sebelah mesin absen. Aku mempercepat langkah kakiku. Sebelum aku menghampiri dia aku menyodorkan jempolku lagi ke mesin absen itu.
"Hai." Sapaku. "Udah lama?"
"Enggak kok. Baru aja. Udah absen?"
"Udah dong."
"Yuk pulang, aku anter ke kosanmu yah."
Aku hanya bisa tersenyum dan mengiyakan ajakannya itu.

                             .................................................................................................

Sejak pertemuan itu, hubungan kita jauh lebih dekat. Kita sering pergi bersama di saat weekend datang. Entah itu hanya sekedar makan bareng. Ataupun hanya sekedar jalan-jalan. Setiap pulang kantor dia selalu mengantarku. Tapi, untuk urusan berangkat kantor, aku masih setia sam bus yang selalu ku tumpangi.


Mungkin ini cara Tuhan untuk tak memaksakan cinta. Aku di suruh-Nya untuk bersabar. Biarlah cinta mengalir ke arus yang sebenarnya. Cinta tahu kemana dia harus berlabuh. Seperti air yang selalu mengalir ke laut. Meskipun sungai panjang menjulang. Air itu harus melaluinya. Agar sampai tujuan. Cinta tahu dimana ujungnya. Dan ujung Cinta Rani adalah Arga. Pangeran itu benar-benar berwujud. Sang artis kini menjadi kekasih sang "fans berat".



~veniivenn~


Thanks,
You are still my favorite artist.
You are the main character all of my stories.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar